Sabtu, 09 November 2013

Tentang Rasa Mirip Hujan

Apa kabar Tampan? Kenapa aku selalu memulai dengan bertanya tentang kabarmu. Kamu tidak bingung kah. Itu karena memang pada kenyataannya aku selalu gagal mengetahui keadaanmu.
Aku selalu di sini bahkan akan terus di sini Tampan...
Ketika sebuah rasa yang enggan untuk enyah dari hatiku, aku pun lelah untuk berusaha mengusirnya. Kadang aku menyiksa perasaanku untuk meniadakan rindu itu. Bohong kalau aku tidak rindu.
Rasa itu mirip sekali seperti rintik langit, datangnya tanpa diminta dan perginya tanpa pesan tapi selalu melukis lengkung indah setelah kepergiannya.

Ya, seperti rinduku, dia datang tanpa aku memintanya untuk datang. Ketika aku mulai menikmati kangen gila itu, malah pada saat itu ia pergi tanpa alasan. Tapi aku menyadari setelah rasa mirip hujan itu pergi, aku merasakan kedamaian dalam diriku. Seperti meneguk air di hamparan gurun yang panasnya membakar kerongkongan. Aku merasa kehadiranmu, karena memang waktu itu ketika rasa mirip hujan itu merengkuhku, detik itu juga sosokmu datang mengusirnya, sekarang? sehebat apapun ia menerkamku, bahkan ketika ia lelah menghantuiku, pelangi tak kunjung datang untuk sekedar menyapa.

Aku merindukanmu Tampan. Sungguh. Bahkan kamu tahu Tampan, aku juga merindukan hujan. Karena hujan adalah seni terindah selain rangkain puisi penyair yang pernah kubaca. Datanglah hujan, menarilah bersamaku agar kelak si Tampan juga datang dan ikut menari bersama kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar