Minggu, 24 Agustus 2014

Aku tidak pernah peduli!

Aku tak pernah peduli pada cemooh teman temanku tentangmu, tentangku, terlebih tentang kita berdua. Berusaha tutup mata melihat bibir mereka membentuk berbagai huruf menggambarkan sosokmu dimata mereka. Mereka bilang kamu perokok, bodoh, tolol, sok keren, pemain wanita, pemain hati sejati, bahkan pengecut. Aku tak mau tahu bahkan enggan untuk mencari tahu, karena aku tak pernah melihatmu dari sisi itu semua. Aku merasakan kesempurnaan itu di ujung mataku;saat bersamamu.

Aku menutup telingaku rapat-rapat agar riuh mereka tidak memaksa masuk di otakku. Tentang kita yang tidak mungkin bersama. Bahwa selamanya si cupid tidak akan pernah ada untuk memanah hatimu untukku "Biarkan saja kami yang tahu, kalian hanya penonton drama yang tidak selamanya menentukan akhir ceritaku." Kemudian mereka merangkulku erat-erat seakan memeluk gadis yang bernasib paling buruk sedunia. Tapi lagi-lagi bersamamu nasib burukku bisa ku hadapi begitu saja.

Aku tahu kini kamu kembali, disampingku, bersamaku, tapi kamu tahu sayang kita ada tapi saling meniadakan. Kita bersama tapi saling menghilangkan. Kita berdampingan tapi seakan terhalang jarak. Hal yang begitu tak pernah ku mengerti tapi aku selalu mengerti bahwa aku (masih) menyayangimu. Sekarang setelah sabar menunggu selama setahun, prasangka itu terjawab sudah. Memang, hubungan kita tidak bergerak sama sekali. Kita berjalan, mengelilingi rute di poros yang sama setiap harinya; iya kita tidak berpindah.

Aku bahkan mencoba tidak memperdulikan perubahan sikapmu. Kamu yang menjadi begitu dingin. Menjawab pesanku dengan jumlah karakter yang bisa dihitung jari-jari mungilku. Kemudian angin berbisik bahwa kamu kini bersamanya. Dan sorot matamu yang sama sekali tak pernah membiaskan kasih. Aku tetap berdiri bagai patung tugu yang tak peduli apapun kondisi terburuk yang menerpanya. Aku tetap berusaha memelukmu dalam bayangan hingga sekarang.

Satu tahun sayang, aku sudah berhasil mengubur dalam-dalam presepsi mereka tentang pergi dan kembalimu. Aku tidak peduli, namun intensistas ketidakpedulianku yang semakin merajai ini membuatku semakin enggan melangkah pergi.
dari pengagummu,
yang paling egois dan paling bodoh,
yang masih saja bertahan dengan serpihan.

Rabu, 20 Agustus 2014

Hujan itu Kesayanganku


Hujan. Satu hal terindah yang bersahabat denganku setelah kamu mengenalkannya kepadaku 13 Februari lalu. Aku memanggilnya “kesayangan”, ya kesayangan yang kudapat dari kamu. Setiap hujan turun selalu meneteskan air mata langit yang beriringan dengan tetesan bening dari mataku. Merasakan dinginnya air hujan sama saja menenggelamkan aku ke dalam kolam luka yang sudah berusaha ku bekukan berkali-kali. Merasakan rintik hujan di permukaan kulitku seperti berusaha merobek lapisan pertahanan organ hatiku yang paling tebal. Sakit, ngilu, perih.
Sejujurmya, enggan aku mengenang cerita lama sendirian. Merasakan sakit ini sendirian. Namun apalah aku yang kalah dengan perasaanku kepadamu. Aku kalah. Aku menyerah. Aku memilih melihat rekaman film masa lalu yang tiada cacat sedikitpun disetiap detiknya. Indah sekali. Tapi sekarang, melihat drama ku sendiri seakan seperti wanita kesepian, kurasa.
Kamu seperti hujan. Datang tak pernah diminta. Berhenti tanpa pernah diusir. Dan setelahnya selalu melukiskan pelangi yang indahya hanya sesaat dan bekas keindahannya hanya meninggalkan rindu akan hujan itu. 

Aku masih aku yang kemarin. Masih aku yang seminggu yang lalu. Masih aku yang sebulan yang lalu. Bahkan hebatnya adalah, aku masih aku yang setahun yang lalu. Masih aku yang penuh kasih saat menghadapimu. Aku tak pernah berubah sayang, meski bukan musim hujan, aku yakin hujan akan datang kapan saja. Meski kamu pernah dimilikinya aku yakin kamu juga akan kembali padaku. Kamu tahu mengapa? Karena sebenarnya akulah alasanmu kembali. Kamu terlalu menutup itu “hujanku” tanpa kamu sadari hujan perlu tanah untuk tujuannya. Akulah tanahmu. Akulah tempatmu pulang. Akulah wadah segala rindu tanpa nama itu. 

Sedikit saja cobalah untuk menelaah apa yang telah terjadi. Segala kejadian yang selalu mempertemukan hujan dengan tanah. Takdir yang selalu mempertemukan aku denganmu. Tuhan yang ikut andil menunjukkan rindumu pulang kepada rumah penampung rindunya. Tidak ada suatu kebetulan sayang, semua sudah tertata begitu rapi dalam catatan Tuhan. Segala sesuatu yang membuatmu berujung bertemu denganku, akuilah bahwa ini memang garis Tuhan. Hanya saja kamu yang menutup rapat-rapat pintumu untuk segera menjadi tempatku singgah. Hujan tidak pernah memilih akan jatuh ditanah mana karena yang ia tahu dengan siapa dia dipertemukan “berulang kali” itulah rumah tetapnya. Jadi? Apa yang kamu pikirkan sekarang? Ah, wanita bodoh macam apa aku ini, bertanya seperti tidak tahu kalau tidak akan ada jawaban segar darimu. Seolah-olah aku berharap menjadi “terakhirmu” atau sekedar rumah singgahmu yang lebih indah dari rumah tujuanmu nanti. Salahkan aku bermimpi? Jelas tidak. Aku bermimpi tidak untuk merusak mimpimu sayang. Aku bermimpi untuk diriku sendiri. Dan bisa ku pastikan bahwa sampai detik dimana kamu membaca ini, aku masih membuka pintu ini selebar yang tak terkira sayang. Setahun, dan aku masih di sini sebagai penyayang setiamu tanpa mengharap imbalan apapun.

Sabtu, 09 Agustus 2014

Sepertinya Masih Kamu

Ku sebut kau sebagai keindahan ciptaan Tuhan. Aku menjulukimu keagungan Tuhan yang tidak luput dari ucapan rasa syukurku. Aku bersyukur melihatmu, bertemu denganmu, mengenalmu, mengetahuimu, menghafal segala tentangmu. Kau adalah laki-laki yang tidak sempurna yang masih perlu dukungan cinta dari sosok wanitamu nanti. Aku bahkan menyayangimu dari kecacatan hidupmu. Bersamamu aku belajar tentang sakit, tentang indahnya lukisan perih sebagai pengalaman, tentang hadiah istimewa yang akan Tuhan berikan setelah perjuangan tiada akhir yang terlalui, tentang segalanya yang membuatku menjadi wanita kuat.

 

Rentetan doa dan harapanku setelah bersujud kepada Sang Pencipta adalah semoga kau menjadi calon imam pilihan Tuhan untukku. Menjadi sosok ayah yang hebat yang ditunjuk Tuhan untuk anak-anakku kelak. Lihatlah kemari. Sedikit saja luangkan waktumu untuk menilik ruang kosong milikmu yang tertata rapi di dalam hatiku. Aku sudah menyiapkannya untukmu sejak setahun yang lalu. Aku kembali menguncinya saat tahu bukan aku tujuanmu. Dan kini, tanpa kau sadari ruangan kosong ini ku buka kembali lebar-lebar masih dengan keindahan yang sama seperti dulu. Masih berhiaskan penantian panjang tanpa kebosanan seperti dulu. Masih sesunyi siulan pria bisu yang merdu seperti dulu.


Bukan aku yang memintamu kembali. Aku juga tak ingin kau menarikku kembali ke dalam rotasimu. Semua ini karna campur tangan Tuhan. Mungkin Tuhan sedikit ingin bermain denganmu dan denganku. Mau jadi apa kamu dan aku. Mau jadi siapa kamu dan aku. Akan kemana kamu dan aku. Kuserahkan semua kepada Ilahi. Aku hanya perlu bersyukur untuk kesekian kalinya atas kepulanganmu (lagi) yang semu. Semoga selamanya aku menjadi akhirmu. Dan semoga dinding pertahananku akan selalu kokoh untuk menantikanmu sebagai pria-ku.


Aku yang belum lelah menyayangimu,