Hujan. Satu hal terindah yang bersahabat denganku setelah
kamu mengenalkannya kepadaku 13 Februari lalu. Aku memanggilnya “kesayangan”,
ya kesayangan yang kudapat dari kamu. Setiap hujan turun selalu meneteskan air mata
langit yang beriringan dengan tetesan bening dari mataku. Merasakan dinginnya
air hujan sama saja menenggelamkan aku ke dalam kolam luka yang sudah berusaha
ku bekukan berkali-kali. Merasakan rintik hujan di permukaan kulitku seperti
berusaha merobek lapisan pertahanan organ hatiku yang paling tebal. Sakit,
ngilu, perih.
Sejujurmya, enggan aku mengenang cerita lama sendirian. Merasakan
sakit ini sendirian. Namun apalah aku yang kalah dengan perasaanku kepadamu. Aku
kalah. Aku menyerah. Aku memilih melihat rekaman film masa lalu yang tiada cacat
sedikitpun disetiap detiknya. Indah sekali. Tapi sekarang, melihat drama ku
sendiri seakan seperti wanita kesepian, kurasa.
Kamu seperti hujan. Datang tak pernah diminta. Berhenti tanpa
pernah diusir. Dan setelahnya selalu melukiskan pelangi yang indahya hanya
sesaat dan bekas keindahannya hanya meninggalkan rindu akan hujan itu.
Aku masih aku yang kemarin. Masih aku yang seminggu yang
lalu. Masih aku yang sebulan yang lalu. Bahkan hebatnya adalah, aku masih aku
yang setahun yang lalu. Masih aku yang penuh kasih saat menghadapimu. Aku tak
pernah berubah sayang, meski bukan musim hujan, aku yakin hujan akan datang
kapan saja. Meski kamu pernah dimilikinya aku yakin kamu juga akan kembali
padaku. Kamu tahu mengapa? Karena sebenarnya akulah alasanmu kembali. Kamu terlalu
menutup itu “hujanku” tanpa kamu sadari hujan perlu tanah untuk tujuannya. Akulah
tanahmu. Akulah tempatmu pulang. Akulah wadah segala rindu tanpa nama itu.
Sedikit saja cobalah untuk menelaah apa yang telah terjadi. Segala
kejadian yang selalu mempertemukan hujan dengan tanah. Takdir yang selalu
mempertemukan aku denganmu. Tuhan yang ikut andil menunjukkan rindumu pulang
kepada rumah penampung rindunya. Tidak ada suatu kebetulan sayang, semua sudah
tertata begitu rapi dalam catatan Tuhan. Segala sesuatu yang membuatmu berujung
bertemu denganku, akuilah bahwa ini memang garis Tuhan. Hanya saja kamu yang
menutup rapat-rapat pintumu untuk segera menjadi tempatku singgah. Hujan tidak
pernah memilih akan jatuh ditanah mana karena yang ia tahu dengan siapa dia
dipertemukan “berulang kali” itulah rumah tetapnya. Jadi? Apa yang kamu
pikirkan sekarang? Ah, wanita bodoh macam apa aku ini, bertanya seperti tidak
tahu kalau tidak akan ada jawaban segar darimu. Seolah-olah aku berharap
menjadi “terakhirmu” atau sekedar rumah singgahmu yang lebih indah dari rumah
tujuanmu nanti. Salahkan aku bermimpi? Jelas tidak. Aku bermimpi tidak untuk
merusak mimpimu sayang. Aku bermimpi untuk diriku sendiri. Dan bisa ku pastikan
bahwa sampai detik dimana kamu membaca ini, aku masih membuka pintu ini selebar
yang tak terkira sayang. Setahun, dan aku masih di sini sebagai penyayang
setiamu tanpa mengharap imbalan apapun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar