Rabu, 20 Agustus 2014

Hujan itu Kesayanganku


Hujan. Satu hal terindah yang bersahabat denganku setelah kamu mengenalkannya kepadaku 13 Februari lalu. Aku memanggilnya “kesayangan”, ya kesayangan yang kudapat dari kamu. Setiap hujan turun selalu meneteskan air mata langit yang beriringan dengan tetesan bening dari mataku. Merasakan dinginnya air hujan sama saja menenggelamkan aku ke dalam kolam luka yang sudah berusaha ku bekukan berkali-kali. Merasakan rintik hujan di permukaan kulitku seperti berusaha merobek lapisan pertahanan organ hatiku yang paling tebal. Sakit, ngilu, perih.
Sejujurmya, enggan aku mengenang cerita lama sendirian. Merasakan sakit ini sendirian. Namun apalah aku yang kalah dengan perasaanku kepadamu. Aku kalah. Aku menyerah. Aku memilih melihat rekaman film masa lalu yang tiada cacat sedikitpun disetiap detiknya. Indah sekali. Tapi sekarang, melihat drama ku sendiri seakan seperti wanita kesepian, kurasa.
Kamu seperti hujan. Datang tak pernah diminta. Berhenti tanpa pernah diusir. Dan setelahnya selalu melukiskan pelangi yang indahya hanya sesaat dan bekas keindahannya hanya meninggalkan rindu akan hujan itu. 

Aku masih aku yang kemarin. Masih aku yang seminggu yang lalu. Masih aku yang sebulan yang lalu. Bahkan hebatnya adalah, aku masih aku yang setahun yang lalu. Masih aku yang penuh kasih saat menghadapimu. Aku tak pernah berubah sayang, meski bukan musim hujan, aku yakin hujan akan datang kapan saja. Meski kamu pernah dimilikinya aku yakin kamu juga akan kembali padaku. Kamu tahu mengapa? Karena sebenarnya akulah alasanmu kembali. Kamu terlalu menutup itu “hujanku” tanpa kamu sadari hujan perlu tanah untuk tujuannya. Akulah tanahmu. Akulah tempatmu pulang. Akulah wadah segala rindu tanpa nama itu. 

Sedikit saja cobalah untuk menelaah apa yang telah terjadi. Segala kejadian yang selalu mempertemukan hujan dengan tanah. Takdir yang selalu mempertemukan aku denganmu. Tuhan yang ikut andil menunjukkan rindumu pulang kepada rumah penampung rindunya. Tidak ada suatu kebetulan sayang, semua sudah tertata begitu rapi dalam catatan Tuhan. Segala sesuatu yang membuatmu berujung bertemu denganku, akuilah bahwa ini memang garis Tuhan. Hanya saja kamu yang menutup rapat-rapat pintumu untuk segera menjadi tempatku singgah. Hujan tidak pernah memilih akan jatuh ditanah mana karena yang ia tahu dengan siapa dia dipertemukan “berulang kali” itulah rumah tetapnya. Jadi? Apa yang kamu pikirkan sekarang? Ah, wanita bodoh macam apa aku ini, bertanya seperti tidak tahu kalau tidak akan ada jawaban segar darimu. Seolah-olah aku berharap menjadi “terakhirmu” atau sekedar rumah singgahmu yang lebih indah dari rumah tujuanmu nanti. Salahkan aku bermimpi? Jelas tidak. Aku bermimpi tidak untuk merusak mimpimu sayang. Aku bermimpi untuk diriku sendiri. Dan bisa ku pastikan bahwa sampai detik dimana kamu membaca ini, aku masih membuka pintu ini selebar yang tak terkira sayang. Setahun, dan aku masih di sini sebagai penyayang setiamu tanpa mengharap imbalan apapun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar